Translate

Sabtu, 14 Juni 2014

HARAPAN



         Sejak anak2 aku sangat mudah terpengaruh oleh berbagai hal, terutama hal2 yang positif dan memacu motivasi. Ayahku yang sangat disiplin, religius dan selalu berpikir positif juga berperan aktif dalam meng-inspirasi hidupku. Ibuku yang sederhana tapi cenderung pada kebenaran dan sikap obyektif juga berperan besar dalam pembentukan karakterku.
          Disamping kedua orangtuaku yang kujadikan figur dalam kehidupanku, aku juga senantiasa menyerap pesan2 positif dari berbagai hal yang kutemui dalam hidupku. Misalnya, guru2 agama dan sekolah, cerita2 dongeng atau televisi dan buku2 yang kubaca.
          Maka ketika aku masih kanak2 aku juga sangat terpengaruh dengan cerita2 putri raja dan pangeran. Salah satu dari cerita itu adalah kisah Cinderella yang sangat terkenal,yang mengkisahkan seorang anak perempuan dari rakyat jelata , miskin dan tidak berpendidikan tetapi berhasil mendapatkan pangeran tampan yang kaya raya dan terhormat. Cerita ini membawa alam bawah sadarku untuk bisa seperti cinderella, menikah dengan ' pangeran' .
           Seiring dengan perkembangan usiaku, pada usia remaja aku juga terpengaruh oleh para 'ustadz' yang menceritakan tentang para wanita solihah. Dan salah satu wanita solihah itu adalah Siti Robiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang sangat termasyhur dalam cerita Islam. Seorang wanita cantik yang hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Alloh SWT. Sampai2 ketika ada laki2 yang melamar, ditolak karena tidak mau terikat pernikahan yang menurut beliau hanya menghalangi pengabdiannya pada Alloh SWT. Kisah ini kemudian meng-inspirasiku untuk tidak menikah selamanya seperti beliau atau bila menikah harus dengan orang 'alim yang kupilih dengan persyaratan.
         Maka ketika sejak kelas 2 SMP aku sudah dilaar orang, aku selalu menolak. Akibat dari penolakanku ada laki2 yang mau bunuh diri mencebur sumur, ada pula yang akan menabrakan diri di kereta api. Anehnya aku tidak peduli, kasihan atau empati dan merasa bersalah, bahkan aku merasa bangga banyak laki2 yang mencintai dan mengharapkan aku, dan aku banyak menolak. 
        Laki2 yang terakhir yang mengharapkan aku adalah putra pengasuh pondok pesantren terbesar di kotaku.Hanya dengannya lah aku mau 'berpacaran', karena aku yakin bahwa dia tidak akan berbuat maksiat yang dilarang ajaran Islam karena dia orang alim, yang tahu banyak tentang Islam. Dengan laki2 inilah aku agak " membuka diri" karena aku berpikir, dia adalah orang alim yang tepat yang bisa ku ajak jihad fi sabillah karena seorang laki2 anak tokoh agama yang alim. Tetapi ternyata hubungan yang terjalin 5 tahun, putus ditengah jalan, tidak sampai ke jenjang pernikahan karena beberapa hal yang sangat prinsipil, atau kami tidak berjodoh.
          Masa2 inilah masa yang paling berat dalam hidupku, selama 16 tahun hidup dalam bayang2 kegelapan "pelet' laki2. Aku sadar dan menderita tapi aku tidak bisa membuangnya. Tepatnya dari tahun 1988 sampai 2006. Aku sangat menderita dan tersiksa, selalu menrindukannya, tetapi bila disisinya tidak bahagia, bahkan hanya gelisah tak menentu. Aku baru bisa merasa tenang dan bebas dari penderitaan ketika aku sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Itupun karena pada tahun 2006 aku ikut pelatihan shalat khusu' yang dibimbing oleh ustadz Abu Sangkan dari Jakarta di Hotel Grasia Semarang pada bulan mei 2006. Aneh sejak saat itu aku jadi merasakan perasaan yang sangat indah, yaitu mahabbah ilahiyah, sillah ilalloh bilmahabbah bila kasabi (  perasaan cinta yang mendalam kepada Alloh SWT ,berhubungan dengan Alloh dengan rasa cinta tanpa berusaha / hadir dengan sendirinya ). Mulai saat itu pulalah tanpa berbuat apapun rasa tersiksa dan menderita karena pelet itu hilang begitu saja. Alhamdulillah selama 16 tahun menderita akhirnya hilang juga, meski saat itu aku sangat ingin bunuh diri, tetapi kutahan juga karena aku tahu bunuh diri adalah dosa yang tak terampuni, akhirnya Alloh memberi jalan juga.
           Sebelum aku menikah tepatnya pada tahun 1995 ibuku menangis karena ada seorang lelaki kaya, pekerjaan mapan, tampan, dan anak orang yang terhormat, tokoh Islam yang melamarku, aku menolak, padahal usiaku sudah 26 tahun dan sudah lulus S1 serta bekerja menjadi Dosen. Apalagi sejak remaja aku sudah memiliki kharisma dan rizki yang luar biasa, karena sejak remaja, SMU kelas 2 aku sudah menjadi Da'i / ustadzah tingkat nasional dengan imbalan yang cukup besar. 
             Nenek laki2 yang melamarku sampai mengutukku : " perempuan itu bagai dagangan cabai, bila tak laku akan busuk. Perempuan itu bagai memasang'wuwu' ( alat penangkap ikan ), apapun yang masuk jerat wu2 harus diterima, baik kepiting ataupun ular harus diambil." Dari kata2 inilah ibuku merasa malu dan prihatin padaku, kawatir aku benar2 tidak menikah selamanya dan 'tidak laku'. Anehnya lagi aku tidak merasa bersalah dan tidak takut akan 'laknat' nenek laki2 yang melamarku. Aku bahkan menjawab pada ibuku ketika nenek tsb sudah pulang : " bu, aku kan bukan cabai, jadi nda akan busuk kalau belum dikubur, kecuali bila aku kena penyakit yg membuat tubuhku busuk, lagi pula kalau masang wu2 yang masuk ular lalu kita ambil aja ular itu, nanti malah mematuk dan bikin kita mati, jadi kalau ular yg masuk ya buang aja, kita ambil bila yang masuk bogo, lele atau gurameh.." 
            Betapa kagetnya aku ketika melihat reaksi ibuku atas jawaban tersebut, beliau menitikkan air mata dan menangis sambil berkata, " lha,kamu mau menikah kapan ? Ibu malu kalau kamu dikata2i orang 'perawan tua yang ngga laku' padahal, kalau kamu mau sudah dari SMP saja kamu sudah dilamar orang. Mau pilih yang seperti apa ? Katakan pada ibu." Akhirya aku sadar, bila aku terus begini berarti aku menjadi anak durhaka yang membuat sedih ibuku. 
            Maka aku berkata, ' baiklah bu, kalau itu mau ibu aku mau menikah secepatnya, meski aku pengin kuliah S2 dulu". Ibuku menjawab ; kuliah terus, ntar tua di bangku kuliah, kuliah kan bisa kapan2 lagi, ya apa yang kamu inginkan dari laki2 pilihanmu, bilang sama ibu..." Akupun menjawab, "aku belum punya pilihan bu,karena semua laki2 yang melamarku tidak ada yang cocok di hatiku, jadi ibu saja yang carikan jodoh untukku, syarat dia tidak memalukan bila diajak kondangan/ bukan orang ca2t dan yang ganteng tentunya, juga harus pandai tentang Islam/ alim , bisa baca kitab gundul/ buku berbahasa arab tanpa harokat/ sakal."
            Memang disamping kedua syarat tersebut aku juga berharap suamiku seorang santri bukan kyai, karena bila kyai pasti dia akan meremehkanku dan bisa di madu aku, tapi bila santri yang sama2 dari awal jihad fi sabilallah dia akan menghargaiku dan tidak berani mencari madu. Benarlah ibuku tertawa riang dengan mengatakan, 'beres, besok ibu mau carai laki2 yang kau inginkan, tapi kamu tidak boleh menolak." Maka menikahlah aku dengan santri pondok pesantren yang sesuai syaratku tadi.
           Harapanku aku menikah dengan syarat2 tersebut, aku akan memiliki suami yang ganteng, pengertian, penyayang, sabar, bijak, pandai dan bersama mengembangkan Islam dengan suamiku yang menjadi pengasuh pesantren dan aku yang mengembangkan lembaga pendidikan formalndi bawah naungan pesantrennya. Tetapi kenyataan yang ku alami sangat jauh berbeda, sejak awal menikan suamiku sudah menunjukkan karakter yang mengerikan, sadis temperamental, keras, egois, cuek dan arogan meski penampilannya pendiam. 
         Anak2ku yang jadi korban, aku yang sibuk mengaji dan mengajar di luar tidak bisa mendampingi anak2ku di rumah. Sedang suamiku yang berkarakter demikian, membuat aknak2ku takut pulang ke rumah, apalagi suamiku juga cuek tidak peduli bila ank2 tidak pulang pada waktunya. Makanya anak2 memilih bermain dengan teman2nya yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga broken. 
           Aku tidak menceraikan suamiku yang seperti itu karena beberapa pertimbangan :
1. Bagiku menikah hanya bisa dipisahkan dengan kematian
2. Aku menjaga imag masyarakat yang akan menilai buruk padaku karena aku ' Da'i dan Dosen sejak gadis.
3. Cerai adalah perbuatan yang dilaknati Alloh SWT
4. Aku memilih bersabar
5. Siapa tahu suamiku akan berubah
           Saat ini aku hanya berharap, anak2 tumbuh normal, dewasa, kharismatik kelak menjadi orang sholih yang berguna bagi Islam, Bangsa dan sesama makluk. Amiin. Meski cobaan tak henti2nya menghampiriku, sampai saat ini aku masih bersabar, semoga sampai akhir hayat dan harapanku terkabul . Amiin
                                                                                                         Cilacap, Sabtu wage 14 juni 2014 M
                                                                                                                                    16 syaban 1345 H

Tidak ada komentar: