Translate

Rabu, 20 Agustus 2014

NASAB ( ILUSI )


           Nasab dalam Islam diartikan sebagai garis keturunan. Dari keturunan nenek ke atas sampai ke bawah cicit dst. Sebenarnya Islam sendiri mengajarkan persamaan derajat sebagaimana di katakan dalam al-Qur'an ; " Inna akromakum 'indallohi atqokum ."  yang artinya ; sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Alloh SWT adalah orang yang paling taqwa diantara kalian." Hal ini sudah sangat jelas maknanya, bahwa Alloh SWT tidak pernah memandang manusia dari keturunannya atau nenek moyangnya siapa. Apakah keturunan ningrat, orang kaya , kyai / ulama atau keturunan Nabi sekalipun.
       Kita dapat belajar dari kenyataan ketika Nabi Nuh as menangis, meratap kepada Alloh SWT memohon agar anaknya yang bernama Kan'an diampuni karena anaknya, anak seorang Nabi, maka Alloh SWT menjawab bahwa Kan'an bukan keluarga Nabi Nuh as karena dia tidak beriman atau kafir. Meskipun secara biologis dia adalah anak kandung Nabi Nuh as dari istri yang sah. Nabi Nuh as diingatkan untuk tidak bersedih atas nasib yang menimpa anak kandungnya karena dia bukan termasuk keluarganya disebabkan keingkarannya. Na'udzubillahi....
       Kita juga bisa belajar dari kisah Nabi Ibrahim as, yang menangis memohon ampunan untuk ayah kandungnya tercinta. Dalam kisah ini Nabi Ibrahim juga dijawab oleh Alloh SWT, bahwa ayahnya bukanlah keluarganya karena kemusrikannya menyembah berhala, tidak mau beriman pada ajaran Nabi Ibrahim as. Na'udzubillahi min dzalik. Kita mersa 'miris' apabila mengingat kisah2 tersebut. Betapa berdukanya seorang ayah, yang dirinya seorang Nabi menyaksikan anak kandungnya sendiri masuk pada golongan orang2 yang dimurkai Alloh SWT. Demikian pula seorang Nabi yang menjadi utusan Alloh SWT , sebagai penyelamat umat haus menerima kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri termasuk orang2 yang dilaknati oleh Alloh SWT. Masya Alloh, na'udzubillahi....
       Demikian pula kejadian yang menimpa Rosululloh SAW, betapa sedih dan berdukanya beliau menerima kenyataan bahwa permohonan beliau kepada Allloh SWT untuk mengampuni paman kandungnya yang mengasuh sejak kecil, membela perjuangannya serta mencintainya melebihi cintanya pada dirinya sendiri, juga ditolak oleh Alloh SWT dengan jawaban bahwa Abu Tholib bukanlah keluarganya. Masya Alloh...
        Dari kisah2 tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa ;
1. Nasab/ keturunan bukan hal yang utama dalam Islam
2. Derajat manusia di sisi Alloh SWT bukan ditentukan oleh kemuliaan/ bagusnya nasab/ keturunan melainkan dari ketaqwaannya. Subhanalloh, betapa adil dan bijaknya Alloh SWT
3. Semulia apapun keturunannya bila perbuatannya bertentangan dengan perintah Alloh SWT maka dia tidak tergolong hamba/ manusia yang mulia dan tetap mendapat murka Alloh SWT.
         Anehnya dalam kalangan Ulama / Kyai Indonesia sendiri sangat mementingkan nasab/ garis keturunan. Lihatlah bagaimana pernikahan keluarga Kyai yang mayoritas di jodohkan, hanya karena memandang keturunannya yang sesama Kyai. 
        Bukan hanya itu dalam hal rekrutmen pegawai/ ustadzpun dipandang dari garis keturunannya. Bahkan ini tejadi pada instansi/ lembaga2 agama Islam. Tanpa memandang apakah memiliki kompetensi dan kualifikasi yang sesuai atau tidak bisa sama sekali, asal nasab/ keturunan/ keluarganya maka akan direkrut/ naik jabatan. Sebaliknya sebagus apapun kualitas SDM nya apabila bukan keturunan/ nasab yang terkait maka tertolak dan akan tetap selamanya menjadi bawahan dan 'kuli'.
         Mungkin abad ini adalah abad yang akan meruntuhkan semua dinasty. Semua lembaga yang dibangun dengan mengedepankan nasab/ keturunan. Mereka harus disadarkan secepatnya bahwa mereka bukan teladan yang baik untuk umat, mereka juga bukan Ulama yang hasanah. Bahkan mereka bisa digolongkan sebagai orang2 yang dhzolim
          Mengapa ? Karena mereka bertindak tidak sesuai ajaran Islam tentang amanah, mereka juga tidak berbuat 'adil  pada sesama Muslim, mereka juga melanggar ajaran Islam yang menentang kasta. Mereka harus tahu bahwa mementingkan / memandang/ menilai seseorang dari nasab adalah naif, karena bukan ajaran Islam. Dalam Islam tidak ada kasta . Dalam Islam derajat manusia/ muslim sama di sisi Alloh SWT , hanya tingkat ketaqwaannya yang akan membedakan. Bagaimana mereka dikatakan sebgai orang yang mulia apabila mereka sendiri berbuat dhzolim ?
        Bukankah sudah jelas makhluk Alloh yang paling dhzolim danyang paling dimurkai Alloh SWT adalah Iblis laknatulloh karena merasa dari keturunan yang paling mulia, merasa diciptakan dari benda yang lebih mulia dari pada benda / materi diciptakanya Adam as. Dia bangga diciptakan dari api, merasa lebih mulia dari Adam as yang hanya diciptakan dari tanah, dia tidak mau hormat pada Adam yang  memiliki kompetensi yang lebih baik darinya dengan kualitas akalnya yang lebih bagus tetapi dipandang lebih rendah dan hina karena diciptakan dari tanah ? Bukankah sejak saat itu Iblis yang berderajat mulia menjadi sangta rendah, bahkan ditentukan menjadi ahli neraka selamanya ? Bagaimana dengan Ulama/ Kyai yang merendahkan umat Muslim dan hanya memandang diri dan keluarganyalah yang paling mulia dan paling pantas dalam segalanya ? Sungguh naif . Bukankah kita semua dari Nasab/ keturunan  yang satu yaitu Nabi Adam as yang mulia ?!
        Lain lagi apabila kemulian itu memang didapatkan dari masyarakat yang memuliakannya karena memandang kesalihannya, ke'alimannya dan bukan karena sifat 'jumawa' yang melekat pada dirinya. Beliau adalah benar2 Ulama/Kyai yang pantas dimuliakan karena kedalaman ilmunya, kesalihan akhlaknya dan keikhlasan perjuangannya. Subhanallloh semoga kita masuk dalam golongan yang ini. Amiin.
Cilacap, rabu legi 20 agustus 2014 m / 22 syawal 1435 h.
         

          
           
          

Tidak ada komentar: