KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
( Analisa
pemikiran al-Ghazali )
Oleh : Dra.Tuti Munfaridah, M.S.I
A.
Pendahuluan
Konsep
kepemimpinan dalam Islam memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh yang
bukan saja dibangun dari nilai-nilai
ajaran Islam, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi
Muhammad SAW, para Shahabat dan al-Khulafa' al-Rosyidin. Bersumber dari
al-Qur'an dan al-Sunnah,
Berkembang dinamis karena dipengaruhi
oleh kondisi sosial, politik dan budaya. Ketika di Madinah Nabi Muhammad SAW
mempunyai peran ganda, sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai hakim yang
merupakan manifestasi beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syari’at Islam
menjadi dasar tata pemerintahan pada
waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah
Islam dipegang oleh seorang Khālifah,
termasuk di dalamnya yang dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khilafah
Islam ini berakhir bersamaan dengan runtuhnya system kekhalifahan yang
dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada waktu itu dipegang oleh
Kemal at-Taturk.[1]
Sebelumnya dia juga telah sistem Kesultanan Turki (1922 M). Hal ini ternyata
menimbulkan dampak yang begitu besar pada sistem pemerintahan negara yang
secara struktural dan konstitusional berubah secara radikal. Puncaknya adalah
pernyataan Konstitusi Negara bahwa Republik Turki adalah Negara Sekuler.2
Sekularisasi Turki yang ditandai dengan jatuhnya Imperium
‘Abāssiyah
pada awal abad ke-20, ternyata memberikan
wacana baru dalam khasanah pemikiran Islam Kontemporer.3
Setidaknya hal inilah yang melatarbelakangi perdebatan kontroversial seputar
relasi Islam dan negara sampai saat ini. Salah satu persoalan yang cukup serius
seputar relasi Islam dan Negara adalah mengenai kepemimpinan dalam konteks
kehidupan bernegara.
Kepemimpinan
sebenarnya merupakan keharusan perwujudannya dan memiliki aturan-aturan yang khasanah. Namun dalam fakta sejarah
tidak sedikit pemimpin yang menghalalkan
segala cara dalam meraih kursi kepemimpinannya. Dunia politik penuh dengan
intrik-intrik kotor guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya
berbagai kepentingan antar golongan, kelompok dan parpol dalam kalangan elit
politik adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bila tidak adanya
kesefahaman bersama, dan tidak jarang berujung pada penyelesaian dengan jalan kekerasan.
Rambu-rambu moral memang sering disebut-sebut sebagai acuan dalam berpolitik secara
manusiawi dan beradab. Tetapi hal itu hanya menjadi bagian dari retorika
politik.
Berbicara
moralitas politik saat ini seolah berteriak di padang pasir yang tandus dan
kering. Sedangkan realitas politik hanya merupakan pertarungan kekuatan dan
kepentingan saja. Melalui kecenderungan umum dari tujuan politik yang dibangun
bukan dari yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, tetapi
menghalalkan segala cara.4
Oleh karena itu, diperlukan telaah mendalam dan
bertanggung jawab tentang etika politik.
Etika
politik sebenarnya lebih mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia
dalam norma-norma moral yang berlaku, serta dalam hubungan kemasyarakatan secara
keseluruhan.5
Etika politik didalamnya mengandung dua dimensi
politis manusia yakni; pertama, hukum sebagai lembaga normative penataan
masyarakat dan kedua, kekuasaan politis atau negara sebagai lembaga penataan
masyarakat efektif, dalam arti mengambil tindakan.6
Berkaitan
dengan studi politik, kita tidak bisa memisahkan kriteria pemegang kontrol
politik tertinggi dalam hal ini, kita meletakkan control politik tertinggi di
bawah kontrol moral dengan meletakkannya sebagai subyek pada perangkat yang berkaitan
dengan sumber-sumber, pembatasanpembatasan, tujuan-tujuan, dan berbagai
penyelesaian.
Dalam
sistem politik, proses utama adalah suatu upaya mengubah tuntutan-tuntutan,
yang mewakili kepentingan, tujuan, dan keinginan individu-individu atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang menjadi keputusan, kemudian dipaksakan dan diterapkan
melalui struktur-struktur pemerintahan. Untuk itu, politik tidak hanya membahas
mengenai hakekat, fungsi dan tujuan dari sebuah negara sebagaimana diketahui
bersama 7,
melainkan menjadi solusi bagi kompleksnya persoalan-persoalan manusia dengan lingkungan
sosialnya. Meskipun, filsafat politik dalam tradisi klasik selalu bermuara pada
persoalan etika, dalam hal ini, kita melihat bagaimana filsafat politik
mengajukan pertanyaan kepada manusia tentang permasalahan moral dan segala
usaha manusia dalam memahami dan memaknai kehidupan sosialnya dengan segala
daya upayanya.8
Al-Ghazali
adalah salah satu ulama/pemikir abad pertengahan
yang memiliki perhatian dalam permasalahan politik atau kekuasaan. Pemikiran
Al-Ghazali telah banyak mewarnai perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam mau
pun Barat dalam masalah politik atau kekuasaan. Ini dapat dilihat dari sekian
banyaknya pemikir Muslim pada generasi sesudahnya yang terinspirasi pemikirannya.
Beberapa
karyanya yang menjadi rujukan teori tentang politiknya adalah kitab Ihya Ulum al-Din, al-Iqtibad wa al-I’tiqad
dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk.
Al-Ghazali menjelaskan teori politiknya dalam beberapa kitab tersebut tidak
sepenuhnya membahas tentang politik kenegaraan, melainkan juga membahas masalah
Teologi, tasawuf, fiqih, etika dan interaksi sosial.
Dalam
hal etika politik, Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu mahluk sosial.
Untuk itu, ia tidak dapat hidup sendirian. Lebih jauh ia melihat ada dua faktor
yang menyebabkan kenapa manusia itu menjadi makhluk sosial; pertama, kebutuhan akan keturunan demi
keberlangsungan hidup umat manusia. Dan hal ini bisa di lakukan melalui
pergaulan antara laki-laki dan perempuan dan keluarga. Kedua, saling membantu dalam menyediakan makanan, pakaian dan
pendidikan anak (diperlukan kerja sama dan saling membantu antar manusia).9 Kerjasama dan saling membantu menjadi
suatu keharusan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut
Al-Ghazali, untuk pengadaan kebutuhan-kebutuhan manusia, diperlukan pembagian
tugas antara para anggota masyarakat dan penguasa (hubungan antar pemuka, baik
agama dan pemerintah dengan dasar saling tolong menolong).
Apabila
apa yang dikemukakan Al-Ghazali bisa diaplikasikan, maka interaksi antar
manusia akan terbentuk. Tak terkecuali dalam pembentukan sebuah negara, dalam
hal ini, interaksi merupakan syarat mutlak untuk dilakukan. Pembentukan sebuah
negara dimulai dari adanya daerah (wilayah) dan rakyat kemudian dibentuklah
pemerintahan. Dengan kata lain, Negara bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi
diadakan oleh manusia dan untuk manusia. Dalam pandangan Al-Ghazali, negara
merupakan suatu lembaga yang sedemikian penting, untuk menjamin pergaulan hidup
manusia. Bahkan, keberadaan negara adalah dalam rangka menjaga dan
merealisasikan syariat agama yang kokoh, yaitu mengantarkan manusia menuju
kebahagiaan hakiki. Secara tegas Beliau menyatakan: “Agama merupakan pokok (pondasi)
sebuah bangunan, sedangkan negara adalah penjaganya”.10
Untuk
menopang kuatnya sinergi agama dan negara, Al-Ghazali menganjurkan pentingnya
pengembangan Ilmu Pengetahuan, Profesionalisme dan Industrialisasi. Dan pra
syarat yang dikemukakan Al-Ghazali di atas merupakan pra syarat yang juga di
adopsi negara modern.
B.
Bentuk Kepemimpinan Negara Menurut Islam
Negara
merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata pemerintahan. Hal
ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai mengalami perkembangan,
baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun pada sektor wilayah kekuasaan
Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup memberi satu alasan penting untuk
menumbuhkan kesadaran dikalangan umat Islam tentang perlunya penataan sistem
ketatanegaraan yang lebih rapih dan terkordinasi.
Terdapat
sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang menyeluruh untuk menata
kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai satu-satunya alat yang dipakai
untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan tersebut.11
Konsep ini telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW,
sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan.
Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah negara
yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam21 pada
masa pemerintahan Islam waktu itu.
Kata
Negara merupakan pemakaian istilah dari ketata bahasaan Indonesia yang memiliki
arti: pertama, organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekusaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh seluruh rakyat; kedua, kelompok
sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah
lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik,
berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.12
Sementara
itu istilah ‘negara’ dalam ilmu politik dapat berarti agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.13
Secara ringkas negara adalah suatu wilayah yang didalamnya
terdapat kesatuan penduduk yang diperintah oleh sekelompok orang (yang
berkuasa) untuk mencapai suatu kedaulatan.
Sedangkan dalam khasanah keilmuan Islam, definisi
istilah ‘negara’ dapat diartikan sebagai; Daulah, Khilafah, Hukumah,
Imamah dan Kesultanan.14
a).
Daulah
Istilah
Daulah berasal dari bahasa Arab ‘daulah’ yang memilki makna:
bergilir, beredar, dan berputar (rotate, alternate, take turns, or
accurriodically). Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang
menetap pada wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang
mengatur kepentingan dan kemaslahatan. 16
Artinya bahwa, kekuasaan yang ada dalam sistem
‘daulah’ disini, berjalan secara bergilir, sesuai dengan keinginan dan kehendak
rakyat sebagai penentu (yang berkehendak) dalam memberikan kepercayaan kepada
penguasa, untuk menjalankan roda pemerintahan. Jadi rakyat dalam hal ini berada
“di dalam” mekanisme kontrol terhadap kinerja yang dilakukan pemerintah
(penguasa).
Menurut
Olaf Schumann, istilah Daulah dapat diartikan sebagai “ dinasti” atau
“Wangsa” yang berarti suatu
sistem kekuasaan yang berpuncakpada seorang pribadi yang didukung oleh
keluarganya atau clan-nya.16
Jelas, dalam konsep ini, kekuasaan pemerintahan
telah dipegang oleh sekelompok clan yang telah berkuasa secara turun
temurun yang dalam konteks modern, istilah ini diartikan sebagai sebuah konsep
negara dan konsep utama dikalangan diskursus Islamis kontemporer.17
Sebaliknya,
Azra mengatakan bahwa daulah tidak sama dengan konsep kedaulatan (soveregnity)
atau bukan negara (Nation State) dalam pengertian modern.18
Kedua pendapat ini, tentunya memiliki perbedaan
terhadap konteks yang hendak dituju. Pendapat pertama ingin menunjukkan bahwa daulah
mempunyai persamaan dengan definisi negara atau bangsa (nation state).
Sedangkan
Azumardi Azra mengartikan daulah sebagai kerajaan Islam di nusantara,
merupakan kekuatan mutlak raja (penguasa) yang bersumber dari kualitas sakral
sang raja dengan kekuatan ghaib yang menjaganya dan dengan keabadian
kekuasaannya.19
Dalam khasanah keilmuan Islam, istilah ini untuk
pertama kalinya digunakan dalam politik Islam ketika kekhalifahan dinasti
’Abbasiyah memimpin kekuasaan pemerintahan pada pertengahan abad kedelapan.20
Pada masa tersebut, kata Daulah diartikan
dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
Lebih
lanjut, M. Din Samsuddin menyebutkan bahwa berpangkal pada penisbatannya dengan
kekuasaan Abbasiyah serta kemudian Utsmaniyyah, maka kata Daulah mengalami
transformasi makna menjadi “negara” atau “kekuasaan Negara.” Sehingga untuk
menunjukkan konsep negara atau negara-bangsa, pemikiran politik Islam
mengajukan kata Daulah, seperti yang terdapat dalam istilah din wa
daulah31 yang
mempunyai arti “agama dan Negara.”
b).
Khilafah
Didalam
sejarah pemerintahan Islam, istilah ini muncul setelah pemerintahan kenabian
dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. Istilah khilafah ini mengandung
arti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan khalifah.” Istilah ini berasal
dari behasa Arab, “khalf” yang berarti “wakil”, “pengganti”, dan “penguasa.”21
Lain
halnya dengan perspektif politik Sunni, khilafah menurut mereka
didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian
legitimasi (bay’ah).22
Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam,
cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit
politik. Setelah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya demikian, menurut Harun
Nasution, bukanlah dalam artian suatu bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung
pada republik. Dalam arti, seorang kepala negara dipilih dan tidak tetap
mempunyai sifat turun-temurun.23
Sedangkan
menurut Bernard Lewis, istilah khalifa muncul untuk pertama kalinya di
Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Pada waktu itu
kata Khalifa ditujukan kepada raja muda atau letnan yang bertindak sebagai
wakil pemilik kedaulatan yang berada ditempat lain.24 Dalam Islam sendiri, istilah ini telah
digunakan ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama Islam, setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW.Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakar menyebut
dirinya sebagai Khalifah Rasul
Allah”, dalam pengertian “Pengganti
Rasulullah.”25
Karena itu,
penggunaan istilah Khalifah erat hubungannya dengan
tugas kenabian yang tujuannya
meneruskan misi-misi Rasul, sebagai salah satu syi’ar dakwah.
Sejauh
ini terdapat tiga teori tentang dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama, pembentukan
khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan Syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para
ahli Fiqh Sunni, antara lain, Abu Hasan Al-Ashari, berpendapat bahwa khilafah
itu wajib, karena wahyu dan Ijma’ para sahabat. Pendapat Kedua, antara
lain dikemukakan oleh al-Mawardi mengatakan bahwa mendirikan khilafah hukumnya farhu
kifayah atau wajib kolektif berdasarkan Ijma.’ Ketiga, adalah
pendapat kaum Mu’tazillah mengatakan bahwa, pembentukan khilafah ini memang
wajib tetapi dengan pertimbangan akal.26
Pada fase selanjutnya, konsep khilafah
ini memiliki perluasan makna yang akhirnya menjadi kontroversi di sebagian
pemikir-pemikir Muslim pada waktu itu. Pendapat ini mengataan bahwa, Islam itu
tidak ada kaitannya sedikitpun dengan kekhilafahan, artinya kehilafahan itu
bukanlah satu sistem yang Islamis, atau bercorak keagamaan sampai dengan
kekhilafahan al-Khulafa al-Rashidin. Ia hanyalah sistem duniawiah yang sepenuhnya
berbeda dan bertentangan dengan agama, serta memiliki tujuantujuan yang
bersifat duniawiah untuk mempertahankan kerajaan, penaklukan dan kolonialisasi,
serta sama sekali bukanlah bertujuan merealisasikan tujuantujuan agama.27Inilah yang menjadi tarik ulur
dikalangan cendekiawan Muslim saat itu. Propaganda-propaganda ganjil dan aneh
itu ternyata terlahir dari seorang Non- Muslim.28
Jadi sudah hampir dapat dipastikan pokok-pokok pikiran
yang ada didalamnya benar-benar bertentangan dengan pandangan seluruh ulama
Islam sejak awal sampai saat ini. Hal itu disebabkan karena seiring dengan
wafatnya Rasulullah, maka tidak bisa tidak harus ada seseorang yang
menggantikannya sebagai seorang pemimpin dan mengemban amanatnya dalam
memelihara agama, memelihara kelestariannya, melaksanakan syri’at-nya,
melindungi umatnya, dan menyampaikan risalahnya sampai keseluruh dunia.
c)
Hukumah
Secara terminolgi, istilah hukumah bermakna
“pemerintah”. Istilah
ini
tidak sama dengan istilah daulah (negara).29
Selain itu dalam uraian beliau selanjutnya, istilah
ini juga berbeda dengan konsep khilafah dan Imamah. Sebab kedua
konsep ini, seperti telah dijelaskan diatas, lebih berhubungan dengan format
politik dan kekuasan. Sedangkan hukumah lebih berhubungan dengan sistem
pemerintahan yang akan dijalankan.30
Menurut
Bernard Lewis, kata tersebut beberapa waktu yang lalu saja digunakan dalam
pengertian “pemerintahan”, yaitu kira-kira pada abad ke-19. Lebih lanjut,
menurut Lewis, kata hukuma sendiri telah digunalkan sejak masa kuno. Akar kata h-k-m
dalam bahasa Arab dan bahasa semit lainnya mengungkapakan gagasan-gagasan
pokok yang saling berkaitan, yaitu pengadilan dan kebijaksanaan. Pada masa abad
pertengahan, melalui perkembangan yang alamiah sifatnya, ruang lingkup arti
dari akar kata itu dari berbagai turunannya diperluas sehingga mencakup
wewenang politik serta hukum, dan hukuma acapkali digunakan untuk
menunjukkan jabatan atau fungsi kegubernuran, atau bahkan ruang lingkup masa
jabatan seorang gubernur. Dalam bahasa Muhammad Said al-Ashmawy, hukuma berkenaan
dengan administrasi masalah publik, khususnya urusan eksekutif. Dalam konteks
ini, urusan hukumah mengandung teori yang disampaikan oleh ideology Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb yang dikenal dengan
teori hakimiyah, yaitu: teori tentang kekuasaan dan kedaulatan ilahi (divine
sovereignity).
Menurut
Said Agil, konsep negara seperti hakimiyyah merupakan produk dari
pemahaman yang sangat harfiah terhadap al-Qur’an, Konsepsi tersebut menuntut
adanya suatu pemerintahan Ilahi, yang dlam format kelembagaan negara akan
berbentuk negara teokratis.31
d)
Imamah
Di
samping istilah diatas, kata imamah juga sering dipergunakan dalam menyebutkan
maksud ‘negara’ dalam kajian keislaman. Munawir Sjadzali
32,
dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja,
sultan atau kepala negara. Dengan demikian, menurut Munawir, Mawardi memberikan
juga bagi agama kepada jabatan kepala negara disamping payung politik.33
Adapaun
Taqiyyudin an-Nabhani menyamakan antara imamah dengan khilafah.
Karena menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syari’at Islam dan
mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.34
Sebagai mana telah diketahui bahwa konsep pemikiran tentang imamah ini
lebih banyak berkembang dikalangan Syi’ah daripada dalam lingkungan Sunni.47Disini
dijelaskan bahwa dalam lingkungan Syi’ah, Imama mnekankan dua rukun,
yaitu: kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian ‘ismah. Istilah ini
untuk pertama kali dalam pemikiran politik islam muncul setelah Nabi
wafat pada tahun 632 M.
Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah ini berkembang menjadi pemimpin dalam shalat,
dan dari sana kemudian berkembang menjadi pemimpin religiopolitik (religious-politik
leadership) seluruh komunitas muslim, dengan mengemban tugas seperti yang
telah ditetapkan dalam Syari’at islam yang diembankan kepadanya, yaitu pemimpin
komunitas tersebut dan memenuhi perintah-perintah - Nya.
e) Kesultanan
Istilah
kesultanan sebenarnya bukan lagi merupakan istilah baru dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia. Kata ini, menurut Lewis, berkalikali
ditemukan
dalam Al-Qur’an dengan arti “kekuasaan”, “bukti”, dan yang lebih khusus lagi
istilah ini dapat berarti “kekuasaan yang efektif”.
Lebih lanjut,Lewis mengatakan bahwa seorang
penulis dari scribal, ‘Abdul Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan,
secara umum menggunakan istilah sultan untuk “pengatur” atau “pemerintah.”
Di Indonesia sendiri penggunaan istilah kesultanan
ini sering digunakan oleh raja-raja Islam yang memerintah di Nusantara.
Ketika seorang raja telah memeluk agama Islam, maka kata sultan dipakai
dibelakang namanya.35 Karena
itu tidak mengherankan jika pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, seperti
Samudera Pasai misalnya, banyak gelar yang digunakan oleh penguasa-penguasa
lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur
Tengah sepanjang abad-abad XII.
Dari
uraian-uraian yang telah di paparkan diatas, tampak bahwa penggunaan istilah
“negara” dalam sejarah perkembangannya, telah banyak digunakan dikalangan umat
Islam, dengan berbagai macam corak, baik di Indonesia maupun didunia Islam
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwasanya konsep “Negara Islam” sebenarnya
telah mendapat sebuah legitimasi oleh pemimpin-pemimpin umat dalam berbagai
bentuknya, serta menepis anggapan yang mengatakan bahwa Negara Islam tidak ada
dalam khasanah keilmuan Islam.
Meskipun secara de jure tidak ada istilah Negara Islam ataupun konsep
tentang Negara itu sendiri, namun
perlu diingat bahwa Islam telah mengenal sejumlah istilah yang sinonim dengan
negara, seperti yang telah diterangkan diatas. Sehinggga fakta inilah yang
menepis anggapan
yang
mengatakan bahwa Islam tidak mengenal istilah negara ataupun konsep Negara Islam,
seperti yang sering dipropagandakan oleh sebagian kaum Liberalis.
C.
Pandangan al-Ghazali tentang Kekuasaan
Setiap
orang pasti memiliki gagasan tertentu mengenai kekuasaan,
namun bila ditanyakan apa itu kekuasaan orang
itu akan menemui kesulitan dalam mengurai gagasannya tentang apa yang disebut
kekuasaan. Sebenarnya sejak seseorang mengenal dirinya dan lingkungannya, ia
telah mengenal apa yang disebut kekuasaan itu. Kekuasaan pertama yang dikenal
adalah kekuasaan dalam keluarga, kemudian orang yang lebih besar atau lebih tua
darinya, dosen terhadap mahasiswanya dan seterusnya sampai pada kekuasaan
pemerintah terhadap rakyatnya.
Konsep
kekuasaan dalam ilmu politik adalah suatu konsep yang sering dibahas. Sebabnya
adalah karena konsep ini dianggap mempunyai sifat yang sangat mendasar dalam
ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik khususnya. Malahan pada suatu ketika
politik (politics) dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan belaka.
Dan dalam keadaan bagaimanapun juga kekuasaan tetap merupakan gejala yang
sangat sentral dalam ilmu politik dan dapat diperdebatkan dengan hangat.36
Perbedaan pandangan tentang hakekat kekuasaan itu di
kalangan para sarjana agaknya adalah suatu hal yang telah lumrah. Kendati
demikian sekali pun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan
tetapi agaknya ada satu inti yang dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk
mengetahui tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan.37
Sumber ke kuasaan itu bukan
pangkat, kedudukan atau jabatan, juga bukan harta milik kekayaan dan bukan pula
dewa atau pun yang dianggap ilahi. Plato menobatkan filsafat atau ilmu
pengetahuan menjadi yang mulia dan harus di atas tahta pemerintahan negara
ideal karena hanya dengan pengetahuan lah yang sanggup membimbing dan menuntun
manusia untuk datang pada pengenalan yang benar akan segala sesuatu yang ada
dalam keberadaannya serta sempurna dalam dunia ide.38
Merebut
kekuasaan adalah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam hal ini
bukan hanya masalah moral, melainkan masalah kesanggupan untuk memusatkan
kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Untuk memusatkan kosmis yang dimiliki
dalam menata sebuah negara.
Membiarkan
kekuasaan diperintah orang lain yang kurang menguasai ilmunya sehingga
institusi negara tidak bisa berperan sebagaimana mestinya menjadi tanggung
jawab bersama, rakyat berhak dan sah secara moral dan hukum untuk merebut
kekuasaan dalam negara apabila secara pribadi menguasai ilmu tentang tata
negara. Begitu pula menggunakannya kekuasaan dengan sendirinya sah karena
sejauh kekuasaan itu nyata.
Kekuasaan
menurut al-Ghazali adalah menguasai hati rakyat (punya wibawa) sehingga mereka
dapat mentaati dan menghormati semua peraturan yang telah ditetapkan. Inti dari
kekuasaan adalah sebuah popularitas dan itu tercela sebab akan menimbulkan
sifat tamak, sombong dan syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi bisa menjadi
terpuji bila orang yang memegang kekuasaan itu telah ditunjuk oleh Allah dan
menggunakan kekuasaan itu untuk li maslahatil ‘ammah (demi kepentingan
umum).39 Beliau juga menegaskan bahwa sumber kekuasaan adalah
dari Tuhan. Hal ini terlihat dari dasar
rujukan yang dijadikan al-Ghazali yaitu surat an-Nisa’ ayat 59, yang
memerintahkan orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan
kepada para pemimpin:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(
al-Qur’an : Ali Imron: 59 )
Diterangkan
juga dalam surat ‘Ali Imran ayat 26, yang menegaskan bahwa Allah memberikan
kerajaan (kekuasaan) kepada yang Ia kehendaki;
Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.( Q.S Ali Imron :
26 )
Al-Ghazali
mendukung semboyan yang menyatakan bahwa kepala negara atau sultan merupakan
bayangan Allah di atas bumi-Nya. Karena itu, rakyat wajib mengikuti dan
menaatinya, tidak boleh menentangnya. Untuk itu, menurut al-Ghazali dalam kenyataannya
Tuhan memilih di antara cucu-cucu Adam menjadi Nabi-nabi dan para pemimpin.
Para nabi bertugas membimbing rakyat ke jalan yang benar, dan para raja atau
kepala negara mengendalikan rakyat agar tidak bermusuhan sesama mereka, dan
dengan kebajikannya ia mewujudkan kemaslahatan rakyat.40
Pendapat
al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa kekuasaan itu muqaddas (suci).
Karena rakyatnya wajib menaati segala perintahnya. Sistem pemerintahan
seperti itu hampir sama dengan teori kenegaraan yang berdasarkan atas ketuhanan
(teokrasi) Kendatipun demikian, teokrasi al- Ghazali berbeda dengan teori
ketuhanan yang diformulasikan dalam teori Barat. Dalam teori ketuhanan,
kekuasaan berasal dari Tuhan. Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai
pemberi kekuasaan kepada-Nya.41
Teori ketuhanan ini merupakan suatu teori yang
menyatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar
kelompok.
Negara
dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatannya yang membentuk kekuasaan dan
pembuat hukum.42
Sesuatu yang membedakan teori ketuhanan al-Ghazali
dengan Barat adalah adanya sumber kekuasaan itu
merupakan
pengakuan dari rakyat, sedangkan Barat berdasarkan atas siapa yang kuat dialah
yang akan berkuasa. Teori ketuhanan barat akan mendorong penguasa berbuat lalim
atas nama Tuhan. Sedangkan al-Ghazali menurut penguasa tidak boleh sekali-kali
lalim, karena segala tindak-tanduknya akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Tuhan.
Al-Ghazali
berpendapat mengenai kedudukan seorang kepala negara, bahwa meskipun seseorang
menjadi kepala negara atas kehendak Allah, namun ia juga harus mendapat Tafwid (penyerahan kekuasaan) dan Tauliyat (pengangkatan dari orang lain).
Menurut al-Ghazali ada tiga cara untuk memperoleh Tafwid dan Tauliyat,
yaitu dengan cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang berkuasa
dengan menunjuk putra mahkota (Wilayatal-Ahd) dari putra-putranya atau
orang yang diperkuat dengan baiat oleh ulama, Ahl al-Hall wa al-Aqdi.43 Seorang penguasa tidak dibenarkan
memberikan peluang kepada para keluarga, pembantu, dan para pengikutnya untuk
berlaku zalim terhadap rakyat, agar mereka tidak lemah dan sengsara dan
karenanya mendorong mereka berpindah ke wilayah lain, dan meninggalkan
negaranya. Dengan begitu pamor kepemimpinan penguasa menjadi menurun dan
pemasukan negara pun menurun.
Dalam
kitab Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk diceritakan tentang seorang
penguasa yang telah kehilangan kekuasaannya pernah ditanya, "Apa sebab
kekuasaanmu lenyap dan berpindah ke orang lain?" "Aku tertipu oleh
kekuasaan, kekuatan, dan kesenanganku akan pendapat dan pengetahuanku. Aku
melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak
berpengalaman, melupakan petugas senior dan berpengalaman. Aku telah
menyia-nyiakan peluang dan kesempatan yang tepat, tidak banyak berpikir tentang
peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Aku kurang
tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan
kesempatan dan kesibukan untuk memenuhi segala keperluan." Ditanyakan
pula, "Apakah yang paling menimbulkan keburukan?" Para utusan
(delegasi) yang tidak jujur, yaitu orangorang yang berkhianat dalam
menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka. Betapa banyak
kerajaan yang menjadi hancur karena ulah mereka.44
Sebaik-baik
penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan
orang-orang yang berada di sampingnya (para pejabat teras kerajaan) memiliki
kecerdasan serupa, bagaikan banyak burung rajawali, bukan seumpama
bangkai." Maksudnya, jika seorang penguasa memiliki pandangan cemerlang
dan dapat mengetahui segala hal, sementara para pendampingnya dan para pejabat
teras kerjaan memiliki pandangan serupa, maka sempurnalah segala urusan
pemerintahannya, dan tegaklah segala urusan penduduk negeri.45
Beberapa tanda-tanda penguasa yang akan kekal kekuasaannya sebagai
berikut: pertama, menghidupkan akal dan agama dalam hatinya, supaya
rakyat menaruh simpati kepadanya. Kedua, pemikirannya logis dan realistis.
Ketiga, cinta ilmu pengetahuan, sehingga dikenal di kalangan kaum cerdik
pandai. Keempat, memiliki keutamaan dan rumah yang besar,
sehinggamendapat penghormatan dari orang-orang yang memiliki keutamaan. Kelima,
mendidik orang-orang yang suka membesar-besarkan kelemahan orang lain dari
pemerintahannya, sehingga ia terhindar dari caci maki. Setiap penguasa yang
tidak memiliki beberapa kriteria di atas, ia tidak akan memperoleh kebahagiaan
dalam pemerintahannya. Sebaliknya, berbagai kendala dan hambatan akan
meruntuhkan kekuasaannya.46
Tanda
seorang yang berjaya dan dapat mengalahkan musuh ialah seorang raja yang
fisiknya kuat, diamnya bermakna, pendapatnya selalu direnungkan dan
dipertimbangkan dengan hati, bersikap rasional dalam pemerintahannya, hatinya
mulia, dicintai rakyatnya, sayang terhadap para pegawainya, belajar dari
sejarah, dan konsisten terhadap agama dan keputusannya. Setiap penguasa yang
memiliki sifat-sifat di atas, dan direalisasikan dalam kenyataan, ia akan
berwibawa dan ditakuti oleh semua musuh, dan tak seorang pun dapat menemukan
peluang untuk mengkritik atau memakinya. Jika seorang raja memandang segala
daya dan upayanya bergantung kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dia akan
memperoleh kemenangan, kendati pun musuhnya kuat. Contohnya adalah kisah yang diabadikan
oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 249 :
Artinya : …."Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah
beserta orang-orang yang sabar."
Ada
empat hal yang merupakan kewajiban para penguasa. Pertama, menjauhkan
orang-orang bodoh dari pemerintahannya. Kedua, membangun
negeri,
merekrut orang cerdas dan potensial. Ketiga, menghargai orang tua bijak.
Keempat, melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan
melakukan penertiban dan pembersihan terhadap segala tindakan kejahatan.
Seorang
penguasa tidak dibenarkan menyerahkan jabatan menteri maupun jabatan penting
lainnya kepada orang yang bukan ahlinya. Jika ia meyerahkan, maka ia telah
menghancurkan pemerintahannya. Orang yang shiddiq ada tiga: para nabi,
para raja, dan orang-orang yang gila (sakr). Sakr diartikan dengan gila,
padahal yang sesungguhnya takut mabuk. Sebab mabuknya orang gila bersifat
batin, sedangkan gilanya orang yang mabuk bersifat lahir. Celaka bagi orang
yang selalu dalam keadaan mabuk dan lalai.47
Para
kepala negara terdahulu membagi waktunya siang hari menjadi empat jadwal. Pertama, dipergunakan untuk kebaktian
dan menyembah Allah. Kedua, dipergunakan
untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, memberikan perlindungan dan keadilan
kepada orang-orang yang teraniaya, juga dipergunakan untuk berbincang-bincang
dengan ulama dan kaum cerdik pandai, dipergunakan pula untuk mengatur segala
hal yang berkaitan dengan siasat negara, seperti merealisasikan program dan
pelbagai ketetapan pemerintah, menulis buku-buku, dan mengirimkan utusan
diplomatik. Ketiga, dipergunakan
untuk makan, minum, mencari bekal dunia, dan rekreasi. Keempat, dipergunakan untuk berolah raga, seperti main catur, bola,
dan lainnya.
Aristoteles
berpendapat, pengayoman Tuhan tertuang dalam 16 hal. Yaitu, akal, ilmu,
kecerdasan dan ketajaman analisis, rupa yang sempurna, keahlian menunggang
kuda, keberanian, kemajuan, sikap tenang, berbudi luhur, adil kepada orang yang
lemah, cinta rakyat, kepemimpinan yang menonjol, ulet, disiplin, banyak ide,
bisa mengatur segala macam persoalan, banyak membaca kisah-kisah kehidupan dan
perjalanan para raja, dan meneliti sifat-sifat dan perbuatan yang menjadi
pegangan para raja."49
Etika
politik menuntut kepada pemegang kekuasaan, agar pemerintahan dijalankan sesuai
dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.
Ketiga
tuntutan itu dapat kita sebut sebagai normatif atau etis karena berdasarkan
keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis dalam artian kekuasaan hanya
sah apabila dijalankan sesuai dengan tiga tuntutan tersebut. Proses legitimasi
etis menuntut ketaatan nyata dari pihak pemegang kekuasaan, maka sistem politik
yang berdasarkan paham legitimasi etis kekuasaan mengembangkan berbagai
pengontrol secara nyata menunjang tuntutan
legitimasi
etis.
C.
Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Ghazali
Sebuah
hal yang lumrah ketika seseorang menjadi pemimpin atau kepala negara mempunyai
suatu keinginan menguasai segala hal. Hal ini menurut al-Ghazali merupakan
suatu penyakit dan harus segera diobati, karena ini akan menjadi ancaman bagi
keamanan masyarakat dan negara, bahkan akan mengancam kedamaian dunia. Penyakit
yang akan menghampiri para kepala
negara
adalah nafsu ingin berkuasa. Hal ini timbul ketika dirinya (kepala negara)
merasa maha kuasa.
Al-Ghazali
membagi empat macam keinginan atau nafsu untuk berkuasa. Pertama, ingin
kebesaran penaklukan, yaitu keinginan hendak menjadi besar dan menaklukkan,
baik dengan ilmu pengetahuan maupun dengan kekuatan. Kedua, nafsu
berkuasa, yaitu keinginan hendak menguasai dan menundukkan orang lain di bawah
kekuasaannya. Ketiga, nafsu hak pengistimewaan. Suatu keinginan supaya
dianggap dan mempunyai hak-hak istimewa di dalam segala hal. Keempat,
adalah nafsu maha kuasa, yaitu berkeinginan untuk menguasai segalanya atau segalanya di bawah kekuasaannya.
Empat
hal di atas menurut al-Ghazali adalah suatu ancaman yang akan menghampiri bagi
moral para kepala negara atau pemegang kekuasaan yang berakibat menjadikan
mereka otoriter dan totaliter. Seorang kepala negara akan maksimal dalam
memimpin suatu pemerintahannya bila dibantu oleh menteri yang cerdas, jujur
teguh dan dapat dipercaya dan pandai mengatur urusan negara, beserta saran yang
telah diberikan oleh kepala negara. Seorang kepala negara dalam bekerja dengan
para menterinya harus memperhatikan beberapa hal: Pertama, jika terlihat kesalahan dan kekhilafan dari sang menteri,
maka ia tidak boleh langsung menindaknya. Kedua,
jika sang kepala negara merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sang
menteri dan ia telah bekerja secara maksimal dalam pemerintahannya, maka harta
dan kekayaannya tidak boleh diungkit-ungkit. Ketiga, jika ia mengajukan sebuah permohonan, maka sang kepala
negara mesti segera memenuhinya, dan tidak boleh menunda-nundanya.
Ada
tiga hal juga yang harus dicegah untuk para menteri. Pertama, jika menterinya
senang melihat kepala negaranya, maka sang kepala negara tidak boleh
melarangnya. Kedua, seorang kepala negara tidak boleh memperdengarkan
kepada menterinya kata-kata yang dapat merusak. Ketiga, seorang kepala
negara tidak boleh menyimpan rahasia kepada menterinya, karena menteri yang
saleh dapat menjaga rahasia kepala negara, dan cakap dalam mengatur segala
urusan negara, membangun wilayah, meningkatkan income dan keindahan negara,
serta meningkatkan wibawa dan pengaruh.
Seorang
kepala negara mesti menyadari bahwa kekalnya sebuah kekuasaan adalah karena
menteri, sedangkan kekalnya dunia karena ada kepala negara. Ia juga tak
selayaknya memberikan perhatian pada hal-hal di luar kebaikan. Ia menyadari
bahwa suatu yang pertama sekali diperlukan manusia adalah pemimpin atau kepala
negara.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa seorang kepala negara yang baik dalam proses kepemimpinannya
harus lah berjalan mulus. Dalam kitab Al-Tibr al- Masbuk fi Nashihat
al-Muluk dengan mengangkat dialog raja Bahram dengan rakyatnya. Raja Bahram
pernah ditanya, "Berapa hal yang diperlukan seorang penguasa sehingga
kepemimpinannya menjadi sempurna dan negara pun maju dan sejahtera?"
Jawabnya, "Seorang penguasa memerlukan enam hal sebagai partner”.
Pertama,
menteri yang soleh, agar sang raja dapat
menjelaskan sesuatu yang rahasia. Kedua, merenungkan pendapatnya serta
mengatur Negara bersamanya. Ketiga, Kuda yang bagus yang dapat
menyelamatkannya dalam keadaan genting. Keempat, pedang yang tajam dan
senjata yang ampuh.
Kelima, istri baik
(cantik) yang dapat menyenangkan hatinya dan menghilangkan kesusahannya. Keenam,
juru masak (koki) yang bijaksana ialah seorang yang jika memegang sesuatu ia
dapat mengaturnya dengan baik. Dalam kitab ini al-Ghazali juga mengutip buku
dari pesan-pesan Aristoteles "Segala persoalan yang diselesaikan melalui
tangan orang lain tanpa kekerasan dan pertempuran, masih lebih baik dibanding
persoalan dan dapat kamu selesaikan sendiri dengan kekerasan.50
Para
menteri dalam menjalankan tugas mesti mengikuti urutan (tartib) pertimbangan
berikut: Pertama, jika mereka memungkinkan melakukan perang bukan dengan
senjata, tetapi dengan ide dan pemikiran, maka mereka mesti melakukan perang
dalam bentuk ini. Kedua, jika mereka mengalami kesulitan dalam menangani
pelbagai persoalan dengan khilafah dan pengaturan tertentu, maka mereka mesti
mencari terobosan dan khilafah lain, misalnya, dengan memberikan dana (harta),
kenang-kenangan, dan hadiah. Ketiga, jika seorang pasukan lari dari
medan juang, maka mereka mesti memberi maaf kepada satuan perang tersebut.
Mereka tidak boleh tergesa-gesa membunuh prajurit itu. Sebab melakukan
pembunuhan terhadap orang hidup sangatlah mudah, sedang menghidupkan
orang-orang yang sudah mati merupakan suatu kemustahilan. Dan manusia disebut
manusia sesungguhnya, manakala ia telah mencapai usia 40 tahun. Dan dari setiap
seratus orang akan ada seorang yang dapat memberikan pengkhidmatan kepada raja
dengan baik. Keempat, jika
seorang
pasukan perang tertawan tentara musuh, maka seorang menteri mesti menebus atau
membelinya agar semua prajurit mendengar apa yang ia lakukan, sehingga
mempertebal keberanian dan semangat juang mereka dalam bertempur. Ia harus pula
memperhatikan kesejahteraan pasukan perang, dan setiap orang mesti dihargai
sesuai dengan pangkat dan kadarnya.51
Seorang
pemimpin (kepala Negara) memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat dan
mulia. Oleh karena itu seorang pemimpin (kepala Negara) menurut al-Ghazali
harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.
Tanggung jawab. Hal yang harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah batas dan
kadar kekuasaan serta menyadari kemungkinan buruk kekuasaan untuk sesegera
mungkin mengevaluasi.
2.
Menerima pesan ulama. Seorang pimpinan mesti senang bergaul dengan para ulama'
dan menerima nasehat mereka. Tapi ia perlu waspada akan ulama' alsu' (ulama'
culas), yang hanya menginginkan kekayaan duniawi.
3.Berlaku baik kepada bawahan. Secara garis
besar dapat dikemukakan di sini bahwa seorang pimpinan (kepala negara) yang
punya minat dan tekad untuk menegakkan keadilan, ia mesti mengatur dan mengarahkan
para petugas dan pegawainya kepada keadilan. Ia mesti menjaga mengawasi keadaan
mereka, keluarga dan anak-anak mereka, juga rumah dan tempat kediaman. Namun pengawasan
ini tidak akan efektif, kecuali sang pimpinan telah lebih dulu berlaku adil dan
memelihara dirinya. Misalnya, tekanan emosi dan amarahnya
tidak
mengalahkan rasionalitas dan agamanya. Demikian pula rasionalitas dan agamanya
tidak tunduk kepada emosi dan amarahnya, akan tetapi emosi dan amarahnya tunduk
pada rasio dan agama.
4.Rendah hati dan penyantun. Janganlah
berhati takabur dan bersikap sombong. Kepala negara haruslah merasakan dirinya
sama dengan para rakyat biasa di dalam segala hal.
5.
Tidak mementingkan diri sendiri. Segala persoalan dan kejadian akan dilaporkan
kepada anda. Menanggapi hal ini, anda mesti mengandaikan diri anda sebagai
salah seorang rakyat biasa dan orang lain sebagai pemimpin anda. Segala hal
yang tidak anda sukai untuk diri anda sendiri, maka ia juga tidak disukai oleh
seorang pun dari kalangan umat islam. Jika anda menyukai sesuatu untuk mereka
yang tidak anda sukai untuk anda sendiri, sungguh anda telah berkhianat dan
menipu rakyat anda.
6. Loyalitas tinggi. Tidak sepatutnya baginda
mencemooh orang-orang yang menunggu di depan pintu baginda untuk suatu
keperluan. Waspadalah anda dari kemungkinan buruk ini. Jika seorang telah
datang kepada anda untuk suatu kepentingan, maka janganlah anda menyibukkan
diri dengan ibadah74
ibadah sunnah sebab memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat islam jauh lebih utama
dibanding ibadah sunnah.
7.
Hidup sederhana. Seorang kepala negara
harus dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu seperti mengenakan pakaian mewah
dan makanan yang lezat-lezat . Semesti bersikap qona’ah (menerima apa adanya) dalam segala hal. Karena tidak ada
keadilan tanpa sifat qonaah.
8.
Lemah lembut. Jauhilah sifat-sifat yang
kasar dan keras, selama sifat lunak lembut dan bijaksana masih dapat di
lakukan.
9.
Cinta
rakyat. Hendaklah kepala negra berusaha untuk membuat rakyat senang dan rela,
sesuai dengan tuntutan dan kehendak agama. Nabi pernah bersabda kepada
sahabatnya: "sebaik-baik umatku adalah orang-orang yang mencintaimu dan
kau pun mencintai mereka. Dan seburuk-buruk umatku adalah orang-orang yang
membenci kalian, dan kalian pun membenci mereka. Mereka mengutuk kalian dan kalian
pun turut mengutuk mereka".
10.
Tulus dan ikhlas. Setiap penguasa dilarang mencari kesenangan seseorang dengan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebab seseorang yang benci
atau murka karena ada sesuatu yang berlawanan dengan syara', maka kemurkaannya
tidak dipandang bahaya. Umar ibnu khattab pernah berkata, "suatu hari,
hampir separuh penduduk berada dalam kebencian. Dan tentu saja orang yang
dituntut untuk menyerahkan hak orang lain darinya akan murka, sementara dalam
satu kasus tidak mungkin memenangkan kedua-duanya (kedua belah pihak yang
sedang terlibat sengketa). Orang yang paling bodoh adalah orang yang
meninggalkan ridha allah, hanya karena mencari ridha manusia”.52
Suatu
hal yang luar biasa apa yang diidealkan oleh al-Ghazali dalam menata sistem
pemerintahan, tampaklah bahwa segala bentuk corak kekuasaan mestinya bertumpu
pada ajaran yang sangat fundamental, yaitu terwujudnya
keadilan
selaras dengan kualitas moral yang baik bagi seorang pemimpinnya,
tetapi
apakah adil dan moral pemimpin yang baik itu? Maka dikatakan bahwa; yang adil
dan moral pemimpin yang baik itu kemuliaan agama, juga buat pemimpin dan
kebijaksanaan sekalian manusia. Karena adil adalah hikmah dari Allah dan
perbuatan adil dari penguasa adalah suatu hal yang didambakan oleh seluruh
rakyatnya. Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh
perbuatan dan keinginan murni untuk menciptakan keadilan dari sang pemimpin.
Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu tidak ada.
Yang ada hanyalah tirani.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Pemikiran Al-Ghazali tentang etika politik adalah
etika politik yang harus didasari oleh aqidah Islam. Karenanya, antara moral
dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Moral politik
yang dimaksud adalah moral yang bersendikan atau didasarkan kepada agama atau
doktrin yang diajarkan oleh agama Islam atau moralitas Islam yang mengajarkan
bahwa setiap manusia harus dalam srtiap aktifitasnya harus berorientasi pada
hubungan vertikal dan horizontal. Dalam konteks politik, hubungan vertikal
seorang pemimpin atau penguasa harus mematuhi perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Sedangkan dalam hubungan horizontal seorang pemimpin atau
penguasa bertanggungjawab atas rakyatnya, sehingga akan membawa masyarakat yang
adil makmur dengan ditopang moral yang bersendikan agama.
2.
Sumber
kekuasaan menurut Al-Ghazali adalah dari Tuhan dan mendapatkan legitimasi
(pengakuan) dari rakyat. Orang yang memegang kekuasaan harus menggunakan
kekuasaan itu dalam rangka li maslahatil ‘ammah (demi kepentingan
umat ).
Tiara Wacana
Group, 1999), hlm. 157.
hlm. 181-183.
(Surabaya: Bina
Ilmu, 1999), hlm. 95.
Abad
Ke-XX, (Bandung:
Pustaka, 1998), hlm.1.
(Magelang:
IndonesiaTERA, 2001), hlm.28.
Islam,
Vol.I
No.2, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm.59.
1994),
hlm.50.
22 Hamid
Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam
Modern Menghadapi Abad Ke-20, terjemahan Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka,
1988), hlm.9
Press,
1985), hlm.95.
25 H.Munawir
Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi
V,(Jakarta: UI Press, 1993), hlm.21
Logos,
2000), hlm.78.
27 Afif
Mohammad, dalam: Islam dan Khilafah; Kritik terhadap Buku Khilafah dan
Pemerintahan
Dalam Islam, terjemahan: Al-Islam wa al-Khalifah fi al-‘Ashar
al-Hadist (Naqd Kitab
Press,
1993), hlm. 63-65.
(Jakarta:
Gremedia, 1992), hlm. 103.
Budiarjo (ed.), Aneka
Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 9.
40 Imam
Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulu k, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm. 43-44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar